Pengasuhan anak oleh orang tua (parenting) mulai menjadi perhatian dunia pada tahun 1970an. Pada saat itu orang tua kulit putih ingin anaknya mampu berkompetisi dalam lingkungan akademis dan sosial sehingga diharapkan menjadi orang dewasa yang memiliki ketrampilan tinggi di berbagai hal. Karena bertujuan untuk menciptakan manusia yang ‘sempurna’ maka berbagai kontrol, aturan dan hukuman diterapkan pada anak agar mereka berhasil mencapai prestasi tinggi. Seiring waktu, berkembang pula berbagai bentuk pengasuhan anak: otoriter, permisif/psikologis, otoritatif/kontekstual (Darling dan Steinberg, 1993).
Cara otoriter menempatkan orang tua sebagai pihak yang menentukan segalanya karena orang tua merasa paling tahu hal terbaik untuk anaknya. Anak dikendalikan dengan aturan dan hukuman agar dapat memiliki kemandirian. Tujuan pengasuhan agar anak sukses secara finansial dan status sosial. Untuk mencapai tujuan itu orang tua mengikut sertakan anak-anak dalam berbagai bentuk penampilan dan kompetisi. Mereka yakin keberhasilan semacam itu akan menjamin kekayaan, status dan kebahagiaan di saat dewasa. Ini adalah model pengasuhan paling lawas yang dikenal, tetapi memiliki kekurangan yaitu anak-anak akan sangat tergantung pada orang tua dalam mengambil keputusan. Saat dewasa, mereka akan dipengaruhi oleh tekanan dan imbalan di luar dirinya. Sehingga dianggap buruk terhadap kebahagiaan emosi jangka panjang. Cara ini juga dikenal sebagai Tiger Parenting.
Cara pengasuhan kedua disebut permisif ketika anak lebih banyak mengendalikan orang tua. Biasanya orang tua yang memilih pengasuhan ini berpikir sudah sewajarnya anak-anak dimanjakan karena masa itu tak terulang kembali. Pilihan ini sering terjadi pada situasi khusus sepefii anak tunggal, orang tua tunggal, anak befiisik lemah atau kehamilan sulit. Orang tua juga seringkali jadi menuruti anak berlebihan dan tidak memberikan aturan atau hukuman yang jelas dan konsisten bahkan selalu mengalah jika terjadi perselisihan. Tujuan pengasuhan ini adalah membentuk ketergantungan emosional antara anak dan orang tua. Anak-anak mungkin akan mendapatkan kebahagiaan atau kepuasaan emosi tetapi mereka mungkin kurang dapat berkompetisi dan mengikuti tatanan sosial. Sebutan populer cara ini adalah Jellyfish Parenting.
Cara pengasuhan kedua disebut permisif ketika anak lebih banyak mengendalikan orang tua. Biasanya orang tua yang memilih pengasuhan ini berpikir sudah sewajarnya anak-anak dimanjakan karena masa itu tak terulang kembali. Pilihan ini sering terjadi pada situasi khusus sepefii anak tunggal, orang tua tunggal, anak befiisik lemah atau kehamilan sulit. Orang tua juga seringkali jadi menuruti anak berlebihan dan tidak memberikan aturan atau hukuman yang jelas dan konsisten bahkan selalu mengalah jika terjadi perselisihan. Tujuan pengasuhan ini adalah membentuk ketergantungan emosional antara anak dan orang tua. Anak-anak mungkin akan mendapatkan kebahagiaan atau kepuasaan emosi tetapi mereka mungkin kurang dapat berkompetisi dan mengikuti tatanan sosial. Sebutan populer cara ini adalah Jellyfish Parenting.
Cara pengasuhan ketiga disebut otoritatif atau juga disebut model kontekstual. Ada tiga hal penting dalam pengasuhan ini yaitu hubungan orang tua dan anak, praktik dan perilaku orang tua, dan sistem keyakinan orang tua. Dalam model ini orang tua menentukan tujuan dan nilai yang diyakini. Orang tua menfasilitasi keinginan anak dengan aturan dan konsekuensi yang jelas berdasarkan kesepakatan. Tujuan pengasuhan kolaborasi, gaya hidup seimbang dan nilai-nilai karakter. Kemandirian anak ditentukan perlahan-lahan sesuai usianya. Banyak pendidik menilai cara ini paling relevan dengan tantangan abad 21 karena memberikan bekal ketrampilan, kolaborasi dan berpikir kritis. Orang tua yang menerapkan pengasuhan ini disebut Dolphin Parenting.
Selain 3 model pengasuhan di atas, ada juga orang tua yang menggunakan pengasuhan khusus sesuai dengan agama dan budaya. Semisal, pengasuhan Islam menganjurkan anak usia 0-7 tahun dididik dengan cara bermain. Di usia 7-14 tahun penanaman sopan santun dan disiplin bahkan memberikan hukuman fisik dengan kasih sayang diperbolehkan sebagai langkah terakhir pendisiplinan. Saat anak usia 14-21, orang tua seyogyanya mengajak anak- anak befiukar pikiran untuk menentukan hal yang baik dan buruk. Selanjutnya lepaskan mereka sebagai orang dewasa, orang tua melindungi mereka dengan doa (Padjrin, 2016).
Latar belakang budaya juga sangat memberi pengaruh pada pengasuhan. Tujuan pengasuhan jawa adalah membentuk karakter njawani yaitu kemampuan tata krama, sopan santun sesuai budaya dan agama sehingga disukai oleh lingkungan sekitar. Anak harus belajar menjaga kerukunan (toleransi, empati, simpati, berbagi) dan hormat (malu, segan, takut) pada orang lain sehingga situasi harmonis dapat tercapai. Orang jawa mengandalkan pituduh/nasehat, hukuman adalah pilihan terakhir dalam mengasuh anak. Selain nasehat, orang tua jawa seringkali membelokan keinginan anak secara halus, perintah terinci, menakut-nakuti anak dengan ancaman dari orang lain atau makhluk halus, menyuap dengan hadiah, menyisihkan anak dalam pergaulan, mengijinkan anak melakukan hal yang dilarang agar jera (Idrus, 2012).
Gaya pengasuhan adalah cara sosialisasi orang dewasa terhadap anak. Praktik pengasuhan dan cara sosialisasi itu akan membentuk kepribadian anak ketika dewasa. Ada banyak cara mengasuh anak, orang tua perlu mendiskusikan cara terbaik agar tumbuh kembang anak optimal. Tentu saja pilihan itu ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini orang tua dan tujuan